Breaking News

Apakah vitamin D mengurangi keparahan COVID-19?

Sebuah tinjauan baru-baru ini yang diposting ke preprint server Research Square* memeriksa penelitian yang diterbitkan untuk hubungan yang konsisten antara kadar vitamin D dan keparahan penyakit coronavirus 2019 (COVID-19).

Latar belakang

Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) masuk ke dalam tubuh melalui sistem pernapasan, di mana spike protein SARS-CoV-2 berikatan dengan reseptor angiotensin-converting enzyme-2 (ACE-2) pada bronchial dan nasal epithelia.

Masuknya dan replikasi virus yang cepat mengganggu penghalang epitel-endotel, menyebabkan disregulasi respon inflamasi dan memicu badai sitokin. Peningkatan respon imun selama badai sitokin dapat merusak jaringan dan organ dan telah dikaitkan dengan kelelahan jangka panjang dan komplikasi sistemik yang dialami setelah pemulihan.

Badai sitokin adalah ketidakseimbangan kadar sitokin pro-inflamasi seperti  tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), interferon-gamma (INF-γ), dan interleukins 6 (IL-6) serta 1 beta (IL-1β), dan faktor anti inflamasi seperti IL-10. Vitamin D mengatur keseimbangan antara sitokin pro dan anti inflamasi, dengan penelitian yang menunjukkan efek perlindungan yang signifikan dari suplementasi vitamin D terhadap infeksi saluran pernapasan akut. Bentuk aktif vitamin D, calcitriol, juga diketahui mengaktifkan peptida antivirus. Memahami hubungan antara kadar vitamin D dan tingkat keparahan COVID-19 dapat memberikan metode untuk melindungi individu dari hasil yang parah secara proaktif.


Tentang studi

Dalam penelitian ini, para peneliti melakukan tinjauan sistematis terhadap studi yang meneliti perkembangan keparahan COVID-19 berdasarkan kadar vitamin D pasien. Tinjauan tersebut mencakup studi kohort terkontrol kasus, cross-sectional, observasional, klinis, retrospektif, dan prospektif yang membandingkan tingkat vitamin D serum median dengan tingkat positif COVID-19, rawat inap, keparahan COVID-19, dan penyintas dan penyintas yang tidak selamat.

Studi ini menganalisis rata-rata dan standar deviasi kadar vitamin D pada individu positif dan negatif COVID-19 menggunakan kalkulator ukuran efek meta-analisis. Selain itu, nilai-P dan interval kepercayaan 95% juga dihitung. Para peneliti juga menggunakan uji-t untuk menentukan perbedaan kadar vitamin D antara kasus COVID-19 yang parah dan sedang dan antara orang yang selamat dari COVID-19 dan mereka yang meninggal karena penyakit tersebut. Selanjutnya, mereka mengeksplorasi studi yang meneliti kadar vitamin D mengenai durasi rawat inap.


Hasil

Hasilnya hampir signifikan ketika kadar vitamin D serum rata-rata pada individu positif COVID-19 dibandingkan dengan individu yang negatif COVID-19. Namun, ketika kadar vitamin D dibandingkan dengan perkembangan keparahan COVID-19, hasilnya tidak signifikan secara statistik. Kadar vitamin D serum juga tidak berbeda secara signifikan jika dibandingkan antara orang yang selamat dan kematian akibat COVID-19.

Nilai rata-rata vitamin D serum rata-rata untuk pasien positif COVID-19 adalah 27,08 nmol/L, dibandingkan dengan 48,67 nmol/L di antara individu yang negatif COVID-19. Dengan nilai p 0,059, perbedaan ini dianggap mendekati signifikan.

Tinjauan tersebut meneliti sebuah studi yang mengevaluasi dampak vitamin D pada tingkat sitokin inflamasi dan menemukan tingkat sitokin pro-inflamasi IL-6 yang secara signifikan lebih tinggi pada individu dengan defisiensi vitamin D. Pasien yang kadar vitamin D-nya lebih tinggi dari 75 nmol/L menunjukkan penanda inflamasi yang lebih rendah seperti protein C-reaktif. Namun, penelitian menunjukkan tidak ada hubungan langsung yang signifikan antara protein C-reaktif dan kadar vitamin D. Studi ini juga melaporkan probabilitas kelangsungan hidup COVID-19 yang lebih rendah di antara pasien dengan kadar vitamin D di bawah 30 nmol/L.

Sebuah penelitian yang membandingkan kadar vitamin D antara pasien rawat inap yang menunjukkan gejala COVID-19 yang parah dan pasien rawat jalan dengan gejala penyakit yang lebih ringan menemukan bahwa pasien dengan gejala yang parah memiliki median kadar vitamin D yang jauh lebih rendah (kurang dari 12 ng/mL). Meskipun perbedaannya tidak signifikan secara statistik, tinjauan tersebut menemukan bahwa individu dengan kadar vitamin D yang lebih tinggi memiliki median hari rawat inap yang lebih sedikit. Namun, tiga studi kontras juga menemukan bahwa pasien dengan kadar vitamin D yang lebih tinggi tinggal di rumah sakit lebih lama.

Selain itu, tidak ada perbedaan signifikan secara statistik yang ditemukan pada kadar vitamin D individu dengan gejala COVID-19 sedang dan berat. Hasil uji-t juga melaporkan tidak ada perbedaan signifikan dalam tingkat vitamin D dari kelangsungan hidup dan kematian COVID-19.


Kesimpulan

Untuk meringkas, tinjauan tersebut memeriksa berbagai penelitian yang membandingkan kadar vitamin D serum median dengan faktor-faktor seperti kasus positif COVID-19, tingkat keparahan infeksi, penderita penyakit, kematian, tingkat sitokin inflamasi dan penanda seperti protein C-reaktif, dan jumlah hari yang dihabiskan di rumah sakit.

Secara keseluruhan, hasilnya melaporkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar vitamin D dan tingkat keparahan COVID-19, kematian, atau durasi rawat inap. Kekurangan vitamin D tampaknya terkait dengan kemungkinan positif COVID-19, tetapi hubungan yang hampir signifikan menurun ketika diperiksa pada skala yang lebih besar.


*Pemberitahuan Penting

Research Square menerbitkan laporan ilmiah awal yang tidak ditinjau oleh rekan sejawat dan, oleh karena itu, tidak boleh dianggap sebagai konklusif, memandu praktik klinis/perilaku terkait kesehatan, atau diperlakukan sebagai informasi yang mapan.


Journal reference:

Lydia Kersh, Kyla Geary, Michael Roberts et al. (2022). What is the impact of vitamin D levels on COVID-19 severity?: A systematic review. Research Square. doi: https://doi.org/10.21203/rs.3.rs-2219827/v1 https://www.researchsquare.com/article/rs-2219827/v1

No comments