Menyelidiki peran sumbu usus-ke-otak dalam respons defensif
Dalam sebuah studi baru-baru ini yang diterbitkan di Cell Reports, para peneliti menyelidiki fungsi sumbu usus-ke-otak dalam respons defensif yang disebabkan oleh racun.
Latar belakang
Selama beberapa dekade terakhir, ada banyak penelitian
tentang neurobiologi reaksi pertahanan yang diinduksi toksin. Studi
mengungkapkan bahwa sumbu usus-ke-otak dikaitkan dengan muntah dan mual yang
diinduksi racun. Ada pertanyaan penting yang perlu dijawab mengenai mekanisme
yang mendasari sumbu usus-ke-otak.
Pertama, masih belum diketahui subtipe saraf nucleus of the
solitary tract (NTS) dan jaringan eferen mana yang mengoordinasikan reaksi
protektif yang diinduksi toksin. Kedua, penelitian ekstensif diperlukan untuk
memahami susunan molekuler dan karakteristik fisiologis neuron sensorik vagal
yang terdiri dari sumbu usus-ke-otak.
Ketiga, mekanisme seluler dalam usus yang penting untuk
reaksi pertahanan yang diinduksi toksin juga memerlukan penelitian lebih
lanjut.
Tentang studi
Dalam penelitian ini, para peneliti menilai reaksi
pertahanan yang ditimbulkan oleh racun bakteri menggunakan paradigma berbasis
tikus.
Tim tersebut mempekerjakan tikus untuk membuat model reaksi
pertahanan yang dihasilkan oleh racun. Keracunan makanan pada hewan muntah
dipicu oleh Staphylococcal enterotoxin A (SEA), eksotoksin yang diproduksi oleh
Staphylococcus aureus. Setelah injeksi SEA intraperitoneal, perilaku tikus
diamati selama tiga jam. Sudut mulut tikus yang terbuka diamati, dan riwayat
waktu dari sudut tersebut diplot untuk menentukan gerakan membuka mulut.
Periode ketika sudut terbuka lebih dari 0,13 sudut puncak disebut sebagai fase
"terbuka" dari pembukaan mulut pada tikus yang diobati dengan SEA. Sudut
maksimum dan rentang waktu aktivitas membuka mulut pada tikus yang diobati
dengan saline atau SEA juga diukur. Tim juga mengamati aksi otot-otot ini pada
subjek.
Tim melakukan dua studi kontrol untuk mempelajari lebih
lanjut tentang perilaku seperti muntah. Gerakan membuka mulut juga merupakan
bagian dari reaksi menganga yang disebabkan oleh pemberian rangsangan pahit
secara intraoral, seperti kina. Selanjutnya, peneliti menyelidiki apakah obat
emetik yang berbeda dapat menyebabkan tikus menunjukkan perilaku seperti
muntah. Indeks conditioned flavor avoidance (CFA), diturunkan dengan membagi
jumlah waktu yang dihabiskan untuk mengonsumsi rasa terkondisi dengan jumlah
keseluruhan waktu yang dihabiskan untuk minum, ditetapkan sebagai bagian dari
paradigma studi untuk CFA yang diinduksi SEA. Juga, kesamaan antara perilaku
seperti muntah yang ditimbulkan oleh SEA dan CFA dengan muntah yang disebabkan
oleh racun pada spesies emetik juga dinilai.
Hasil
Semua tikus yang diobati dengan SEA menunjukkan perilaku
membuka mulut yang menyimpang, sedangkan tikus yang diberi garam tidak. Gerakan
membuka mulut tikus yang diberi garam secara sporadis menunjukkan amplitudo
kecil dan tidak berlangsung lama. Dua kelompok perilaku membuka mulut diamati
pada tikus yang diobati dengan SEA. Perilaku membuka mulut secara spontan dari
tikus yang diberi garam ditiru oleh satu kelompok gerakan, tetapi kelompok
lainnya menunjukkan amplitudo yang lebih kuat dan periode yang lebih lama.
Penelitian awal membandingkan perilaku membuka mulut yang diinduksi SEA dengan
"muntah-muntah pada tikus."
Tim juga menemukan bahwa diafragma bersama dengan otot
miring eksternal perut terlibat dalam aktivitas elektromiogram (EMG) secara
bersamaan karena aktivitas pembukaan mulut yang dipicu oleh SEA. Pernapasan normal
terjadi bersamaan dengan aktivitas EMG bergantian otot-otot ini pada tikus
kontrol. Frekuensi dan amplitudo EMG diafragma selama fase "terbuka"
dari aktivitas membuka mulut pada tikus yang diberi perlakuan SEA secara
substansial lebih tinggi daripada selama fase "tertutup". Temuan ini
menawarkan bukti fisiologis bahwa perilaku membuka mulut yang unik yang
disebabkan oleh SEA pada tikus adalah gerakan seperti muntah.
Tim menemukan bahwa ketika terkena enterotoksin ini, tikus
menunjukkan perilaku seperti muntah, dengan waktu yang dihabiskan untuk membuka
mulut mereka dipengaruhi oleh dosis masing-masing enterotoksin. Selain itu,
tikus menunjukkan perilaku seperti muntah sebagai respons terhadap emetik
tambahan seperti tembaga sulfat dan protoveratrine A. Selanjutnya, tikus yang
diobati dengan SEA mengembangkan CFA dalam pola yang bergantung pada dosis.
Pretreatment dengan antagonis reseptor neurokinin-1
antiemetik (NK1R) yang disebut CP-99994 menurunkan perilaku seperti muntah dan
CFA yang disebabkan oleh SEA. Granisetron, antagonis 5-HT3R, juga mengurangi
CFA yang ditimbulkan oleh SEA dan perilaku seperti muntah. Temuan ini
menyiratkan bahwa pada tikus, SEA memicu reaksi defensif yang mengandalkan
pensinyalan yang dimediasi NK1R dan 5-HT3R. Dengan demikian, para peneliti
menyelidiki mekanisme di balik reaksi pertahanan yang diinduksi toksin pada
tikus menggunakan paradigma eksperimental yang dikembangkan.
Ketika neuron-neuron ini secara kemogenetik tidak aktif
dengan dosis intraperitoneal clozapine N-oxide (CNO), perilaku seperti muntah
yang diinduksi SEA, serta CFA dihambat. Temuan ini menunjukkan bahwa reaksi
pertahanan yang diinduksi SEA pada tikus melibatkan sumbu usus-ke-otak. Reaksi
defensif yang diinduksi doksorubisin sangat berkurang ketika secara kemogenetik
dinonaktifkan oleh neuron Tac1+ DVC. Penghapusan gen Tac1 di DVC atau
penghapusan Slc17a6 di neuron Tac1+ DVC keduanya sangat mengurangi reaksi
defensif yang ditimbulkan oleh doksorubisin. Penghapusan Tph1 dalam sel epitel
usus Vil1+ mencegah produksi 5-HT dalam sel EC, yang sangat mengurangi reaksi
pertahanan yang disebabkan oleh doksorubisin.
Berbeda dengan CFA, perilaku seperti muntah yang disebabkan
oleh doxorubicin secara selektif dikurangi oleh penghambatan kemogenetik neuron
Tac1 + DVC yang memproyeksikan rVRG. Alih-alih merusak perilaku seperti muntah,
ablasi kemogenetik dari neuron Tac1 + DVC yang memproyeksikan LPB secara khusus
menurunkan CFA yang diinduksi doksorubisin. Hasil ini menyiratkan bahwa neuron
Tac1+ DVC mungkin juga penting dalam respons defensif yang disebabkan oleh
kemoterapi pada tikus.
Secara keseluruhan, temuan penelitian menyoroti bahwa
paradigma yang dikembangkan oleh para peneliti dapat secara efisien
mengidentifikasi sirkuit otak yang berbeda yang terlibat dalam koordinasi
reaksi pertahanan yang diinduksi toksin pada tikus dan sirkuit usus-ke-otak
yang didefinisikan secara molekuler yang terlibat dalam transfer sinyal yang
relevan dengan toksin.
Journal reference:
Zhiyong Xie, Xianying Zhang, Miao Zhao, Fengchao Wang, Congping Shang, Peng Cao. (2022). The gut-to-brain axis for toxin-induced defensive responses. doi: https://doi.org/10.1016/j.cell.2022.10.001 https://www.cell.com/current-biology/fulltext/S0092-8674(22)01314-9
No comments