Breaking News

Terobosan Risiko infeksi dan respons imun terhadap vaksin yang terkait dengan alel antigen leukosit manusia

Dalam penelitian terbaru yang diterbitkan di Nature Medicine, tim peneliti dari Inggris (UK) menggunakan data dari uji klinis vaksin penyakit coronavirus Oxford-AstraZeneca 2019 (COVID-19) ChAdOx1 nCoV-19 untuk memahami faktor genetik yang berkontribusi terhadap variasi individu dalam respons antibodi terhadap vaksin.

Latar belakang

Pengembangan vaksin yang dipercepat telah mengurangi keparahan dan penularan sindrom pernapasan akut parah coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Di Inggris, Pfizer-BioNTech (BNT162b2) dan Oxford-AstraZeneca (ChAdOx1 nCoV-19; AZD1222) adalah vaksin awal yang menunjukkan kemanjuran signifikan terhadap rawat inap karena infeksi dari varian sebelumnya. Namun, terlepas dari efektivitas vaksin dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas COVID-19, infeksi terobosan, terutama dengan varian baru yang menjadi perhatian, semakin meningkat frekuensinya.

Peningkatan kadar antibodi penetralisir, terutama imunoglobulin G (IgG), terhadap SARS-CoV-2 spike protein dan receptor binding domain (RBD) telah dikaitkan dengan pengurangan risiko COVID-19. Variasi tingkat IgG anti-spike dikaitkan dengan usia dan kondisi kesehatan lainnya, tetapi dasar genetik untuk berbagai respons antibodi penetralisir tidak sepenuhnya dipahami.


Tentang studi

Dalam penelitian ini, tim menggunakan data dari lima uji klinis yang dilakukan di Inggris. Semua peserta uji coba juga dimasukkan dalam studi genetik. Kelompok penemuan terdiri dari dua uji klinis untuk vaksin ChAdOx1 nCoV-19, sedangkan kelompok replikasi terdiri dari dua uji coba pada peserta berusia 50 tahun atau lebih yang menguji dosis intramuskular vaksin ChAdOx1 nCoV-19, BNT162b2, atau mRNA-1273, atau vaksin vaksin nanopartikel NVX-CoV2373, dan satu uji coba vaksin ChAdOx1 nCoV-19 pada anak-anak antara usia enam dan 17 tahun.

Infeksi terobosan dalam kelompok penemuan didefinisikan berdasarkan gejala yang dilaporkan sendiri dan nucleic acid amplification test (NAAT)setelah minimal 22 hari dari vaksinasi, sedangkan infeksi terobosan dalam kelompok replikasi didefinisikan hanya menggunakan gejala yang dilaporkan sendiri.

Tes serologi dilakukan pada sampel darah pada hari ke 28 dari vaksinasi pertama, sebelum dosis vaksin kedua, dan pada hari ke 28, 90, dan 182 setelah dosis kedua. Respon imun humoral diukur terhadap spike protein SARS-CoV-2, RBD, dan protein nukleokapsid. Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) juga digunakan untuk mengukur antibodi anti-spike dalam sampel dari kohort replikasi.

Asam deoksiribonukleat (DNA) diekstraksi dari sampel darah dan digenotipe. Alel antigen leukosit manusia multi-alel (HLA) difase, dan struktur terner kompleks protein-peptida spike HLA dimodelkan.

Sel mononuklear darah perifer yang diawetkan dengan cryopreserved digunakan untuk uji proliferasi, seperti uji penanda yang diinduksi aktivasi sel T. Enzyme-linked immunospot (ELISpot) assay digunakan untuk mengukur respons IgG dalam sel plasma yang mensekresi antibodi yang dibedakan dari sel B memori. Berbagai analisis statistik digunakan untuk memahami hubungan genom dan alel HLA dengan respon imun humoral terhadap vaksin.


Hasil

Hasilnya mengidentifikasi korelasi antara major histocompatibility complex (MHC) class II alleles dan variasi individu dalam respons antibodi penetralisir. Alel HLA-DQB1*06 dikaitkan dengan respons imun anti-spike dan anti-RBD yang lebih tinggi setelah imunisasi dengan vaksin ChAdOx1 nCoV-19 dan BNT162b2.

Pembawa alel HLA-DQB1*06 juga terlihat memiliki risiko infeksi terobosan yang lebih rendah dari varian awal SARS-CoV-2, termasuk varian Alpha, dibandingkan individu yang tidak membawa alel HLA-DQB1*06.

Selanjutnya, tim mengidentifikasi peptida spike HLA yang berbeda, menunjukkan bahwa alel HLA-DQB1*06 memiliki residu spesifik yang mengenali situs berbeda pada spike protein dan kemudian meningkatkan pengenalan reseptor sel T dan respons sel memori B khusus untuk SARS-CoV. -2 protein paku.

Para penulis menyoroti kebutuhan untuk mengeksplorasi hubungan antara alel HLA dan variasi respons imun yang diinduksi vaksin di berbagai kelompok berdasarkan etnis dan komorbiditas. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami mekanisme fungsional pengikatan protein spike HLA dan perbedaannya berdasarkan varian SARS-CoV-2 yang muncul.


Kesimpulan

Untuk meringkas, penelitian ini menggunakan data dari uji klinis vaksin di Inggris untuk memeriksa dasar genetik untuk berbagai respons imun terhadap vaksin. Para peneliti menemukan bahwa alel HLA, khususnya alel HLA-DQB1*06, berkorelasi dengan respons antibodi yang lebih tinggi terhadap vaksin dan risiko infeksi terobosan yang lebih rendah.

Studi ini juga menemukan bahwa alel HLA-DQB1*06 berikatan secara berbeda dengan spike-peptida, yang dapat menjelaskan perbedaan respons imun humoral pada pembawa alel HLA-DQB1*06. Penelitian lebih lanjut tentang mekanisme asosiasi ini diperlukan untuk meningkatkan desain vaksin dan strategi implementasi terhadap varian SARS-CoV-2 yang muncul.


Journal reference:

Mentzer, A. J., O’Connor, D., Bibi, S., Chelysheva, I., Clutterbuck, E. A., Demissie, T., Dinesh, T., Edwards, N. J., Felle, S., Feng, S., Flaxman, A. L., Karp-Tatham, E., Li, G., Liu, X., Marchevsky, N., Godfrey, L., Makinson, R., Bull, M. B., Fowler, J., & Alamad, B. (2022). Human leukocyte antigen alleles associate with COVID-19 vaccine immunogenicity and risk of breakthrough infection. Nature Medicine. doi: https://doi.org/10.1038/s41591-022-02078-6 https://www.nature.com/articles/s41591-022-02078-6

No comments